Thursday, November 6, 2008

Boleh Bawa Rendang

By Republika Contributor
Minggu, 02 November 2008 pukul 13:44:00


Makanan sering menjadi persoalan bagi jamaah haji. Padahal jamaah haji, terutama yang ONH biasa akan berada cukup lama di Tanah Suci. Jika soal makan tak diperhatikan, dampaknya akan buruk bagi kondisi kesehatan. Jika kesehatan memburuk sudah tentu ibadah akan terganggu.

Persoalan makan mulai timbul sejak di asrama haji, sesampainya di bandara, selama perjalanan ke Madinah dan Makkan, dan sesampainya di tujuan. Di asrama haji yang banyak terjadi jamaah terlambat mendapat jatah makan. Di bandara, bisa terjadi jamaah harus menunggu berjam-jam, padahal tidak ada jatah makan. Sedangkan dalam perjalanan dari Jeddah ke Madinah kadang waktu makan terlewat karena ulah sopir yang tak berhenti di pemberhentian seharusnya.

Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan itu, sebaiknya tiap jamaah menyediakan makanan kecil di tas tentengannya masing-masing. Jamaah bisa membawa persediaan biskuit, roti, kacang-kacangan, dan minuman. Selama di Tanah Suci jamaah bisa membeli makanan atau memasak sendiri. Makanan jadi bisa mudah didapat di Madinah dan Makkah. Banyak pedagang TKW Indonesia yang menawarkan makanan sampai ke depan pintu penginapan. Harganya 3 hinga 5 riyal (satu riyal sekitar Rp 3.000).

Menunya, ikan atau telur dengan sayur. Jika mau makan di warung Indonesia harganya harga 5 hingga 15 riyal. Mau makan masakan Arab, kebuli, kebab, panggang sapi ayam, kambing juga boleh. Harganya di atas 5 riyal. Ingat sebelum makan ketahui dulu secara pasti berapa harganya.Selama di Arafah dan Mina, makanan disediakan. Namun jika ingin membeli juga banyak pedagang yang menyediakan. Dalam perjalanan, jangan lupa membawa makanan kecil karena sangat mungkin perjalanan ke Arafah dan kembali ke Mina memakan waktu lama.

Jika jamaah ke Arafah dengan jalan kaki, jangan lupa bekali tas ransel dengan makanan dan minuman, mengantisipasi kesulitan mendapat makan di jalan. Bila tidak ingin memasak jamaah haji bisa membawa makanan yang tahan lama dari Tanah Air. Misalnya rendang, abon, dendeng, mie, sambal goreng kacang, atau makanan lainnya. Makanan khas Tanah Air ini sangat membantu untuk mempertahankan nafsu makan.

Jika jamaah ingin memasak sendiri, bisa dilakukan di penginapan. Namun kondisi penginapan tak semua sama. Ada yang menyediakan dapur dan peralatan masaknya. Namun ada juga yang tak membolehkan masak di penginapan. Ada jamaah yang mengantisipasi larangan memasak di penginapan ini dengan memasak di kamar mandi.

Jika ingin memasak sendiri sebaiknya dilakukan dalam kelompok. Ada pembagian tugas membawa peralatan masak. Dengan begitu beban tidak menumpuk pada satu jamaah. Perlu diingat pula, jangan membawa kompor atau magic jar dari Tanah Air. Barang-barang itu bisa mudah didapatkan di Tanah Suci. Sia-sia saja memasukkan perlengkapan tersebut ke dalam koper, karena pasti nanti akan dirazia.

Bahan-bahan masakan juga bisa didapat dengan mudah di Makkah maupun Madinah. Sayuran, beras, buah, telur, ikan, daging, bisa mudah dibeli. Ada baiknya bumbu dibawa dari Tanah Air. Boleh juga membawa kecap, sambal botol, dan saus. Sebenarnya, begitu tiba di bandara Jeddah, jamaah langsung mendapat makanan kecil untuk bekal perjalanan. Begitu sampai di Wadi Quded (jika ke Madinah) atau sampai di penginapan (jika langsung ke Makkah) disediakan makan besar. Setelah itu besoknya baru makan sendiri atau disediakan, jika di Madinah. Teorinya begitu, tapi di lapangan banyak teori tak sesuai kenyataan.

Sejak tahun lalu selama di Madinah jamaah disediakan makan sebanyak dua kali sehari, pagi dan malam. Pagi hari sarapan datang sekitar pukul 09.00 sampai pukul 10.00. Dan makan malam datang setelah Shalat Magrib. Namun waktu datang makanan ini tak selalu tepat. Makan pagi kadang datang molor hingga pukul 14.00. Makan malam, ada yang baru datang pukul 21.00. Tak hanya soal waktu kedatangan, menunya pun kadang bikin keki.

Bersiaplah untuk mendapat menu nasi, buncis, daging kambing, atau ayam berulang-ulang. Soal rasa, jangan tanya. Yang penting dimakan saja. Untuk jamaah ONH Plus, makanan sepertinya tak menjadi persoalan. Hanya saja kadang-kadang rasanya tak selalu cocok dengan dengan lidah orang Indonesia. Jadi jangan bayangkan soto selalu berasa soto seperti yang biasa dimakan di Tanah Air. sbt

No comments: